Persyaratan Penyedia Jasa dalam Pengadaan Barang/Jasa di Desa

Persyaratan Penyedia Jasa dalam Pengadaan Barang/Jasa di Desa

Pemberlakuan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau disebut Perka LKPP Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa, mengharuskan desa dalam memperoleh barang jasa yang diperlukan melaksanakan kegiatan pengadaan barang jasa berpedoman pada aturan-aturan yang dijelaskan dalam Perka LKPP tersebut.

Sebelum pemberlakuan peraturan seperti yang disebutkan diatas, para penyedia jasa berkutat dan berkonsentrasi di Instansi maupun di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam memperoleh paket pekerjaan, baik itu pekerjaan Jasa Konstruksi, Jasa Konsultansi, Pengadaan Barang ataupun Jasa Lainnya, dan setelah pemberlakuan Perka LKPP para penyedia berlomba-lomba dan berusaha untuk mendapatkan paket pekerjaan di desa-desa.

Pengadaan barang jasa di desa sesuai peraturan tersebut pada prinsipnya dilaksanakan secara swakelola, tetapi di peraturan tersebut juga mengakomodasi pengadaan lewat penyedia jasa dengan kriteria-kriteria tertentu. Pemerintah Desa dalam hal ini Tim Pengelola Kegiatan (TPK) cenderung menggunakan penyedia jasa dalam pengadaan barang jasa di desa, sepanjang sesuai kriteria yang dipersyaratkan dalam Perka LKPP tersebut TPK tidak dilarang mengunakan pihak penyedia jasa, alasan yang sering dikemukakan TPK mengapa mereka cenderung menggunakan penyedia jasa, dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia yang ada di desa mereka yang mempunyai keahlian di bidang perencanaan, pengawasan dan teknis infrastruktur serta administrasi keuangan dan pelaporan. Fakta dilapangan memang menjelaskan demikian.

Yang harus diantisipasi oleh Pemerintah Desa dalam hal ini adalah TPK adalah Penyedia Jasa yang mendapatkan paket pekerjaan di Desa mereka, apakah Penyedia Jasa tersebut sudah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usahanya, contohnya untuk pengadaan barang, apakah penyedia jasa tersebut memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.46/M-Dag/Per/9/2009 yang berbunyi “semua perusahaan diwajibkan memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dalam melaksanakan usahanya” kecuali yang dikecualikan oleh peraturan tersebut yaitu Usaha Mikro seperti bengkel, binatu (laundry), salon kecantikan, rumah makan, persewaan komputer dan internet, toko kelontong, tukang bakso keliling, dan pedagang asongan, tetapi bila usaha mikro tersebut ingin membuat SIUP juga tidak masalah apabila dikehendaki oleh usaha mikro tersebut, sedangkan untuk Jasa konstruksi wajib memiliki Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) berdasarkan peraturan menteri yang membidangi, persyaratan lainnya lagi adalah Tanda Daftar Perusahaan (TDP) ini menunjukkan bahwa TDP adalah sebagai bukti bahwa suatu perusahaan atau badan usaha telah melakukan kewajibannya melakukan pendaftaran perusahaan dalam Daftar Perusahaan. Kewajiban melakukan pendaftaran dalam Daftar Perusahaan diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan, Pasal 5 Undang-Undang tersebut berbunyi “Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan”, Akta Pendirian Perusahaan juga wajib dimiliki oleh penyedia jasa yang berbadan hukum ataupun Badan Usaha ini bertujuan agar memberikan kejelasan status kepemilikan perusahaan dan siapa yang berhak mengadakan ikatan perjanjian/kontrak dengan pihak TPK.

Berikutnya yang harus jadi perhatian TPK adalah Penyedia jasa tersebut juga harus memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa, ini bertujuan agar pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan hasil yang diinginkan dan memenuhi persyaratan teknis sesuai rencana anggaran biaya (RAB) dan gambar pekerjaan yang terlampir di kontrak pekerjaan yang telah disepakati bersama. Untuk mendukung penyedia jasa memiliki keahlian, pengalaman teknis tersebut penyedia jasa juga diwajibkan memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam Pengadaan Barang/Jasa. Sumber daya manusia di penyedia jasa dibuktikan dengan ijasah ataupun sertifikat keahlian yang dilampirkan dalam kontrak dalam bentuk foto copy ijasah dan sertifikat, demikian juga untuk modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam Pengadaan Barang/Jasa, ini dimaksudkan untuk menghindari broker (calo) yang mendapatkan pekerjaan setelah itu pekerjaan tersebut malah dilaksanakan dan dikerjakan oleh penyedia jasa yang lain.

Selanjutnya adalah penyedia jasa memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil, ini bertujuan agar usaha mikro/kecil juga mendapatkan hak yang sama dan berkesempatan untuk mendapatkan paket pekerjaan di desa. Kriteria Usaha Mikro ataupun Usaha Kecil ini dapat dilihat dari Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP).

TPK juga harus mengetahui bahwa calon penyedia jasa yang akan mengadakan perikatan perjanjian/kontrak tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, langkah antisipasinya adalah meminta penyedia jasa tersebut membuat surat pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak seperti yang disebutkan diatas.

Penyedia jasa juga harus sebagai wajib pajak, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan. Apabila pajak 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan belum ada TPK dapat meminta Surat Keterangan Fiskal (SKF) kepada penyedia Jasa. NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Pajak 3 bulan terakhir atau SKF dan apabila Pemilik perusahaan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak juga melampirkan PPh pasal 25/29 dan semua ini di fotocopy dan dilampirkan dalam kontrak.

Disamping semua persyaratan diatas, TPK juga harus mengetahui calon penyedia jasa yang akan mengerjakan paket pekerjaan, perusahaan penyedia jasa itu tidak masuk dalam Daftar Hitam. Ini yang harus menjadi perhatian, untuk mengetahui apakah perusahaan dimaksud masuk daftar hitam, TPK harus berkoordinasi dengan Unit Layanan Terpadu (ULP) di ibukota Kabupaten, apabila perusahaan tersebut terbukti termasuk dalam daftar hitam, tindakan yang diambil oleh TPK adalah membatalkan penyedia jasa tersebut untuk melaksanakan paket pekerjaan, dan apabila setelah mengetahui TPK tetap memaksakan penyedia jasa tersebut melaksanakan pekerjaan, itu dianggap TPK juga ikut berperan dalam pelanggaran hukum, kecuali status daftar hitam telah berakhir masa berlakunya, maka tidak boleh menghalangi calon penyedia jasa dalam memperoleh paket pekerjaan.

Dan yang terakhir adalah penyedia jasa harus menandatangani Pakta Integritas, ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan paket pekerjaan penyedia jasa tidak melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), akan melaporkan kepada APIP Kabupaten Kotawaringin Barat dan/atau LKPP apabila mengetahui ada indikasi KKN di dalam proses pengadaan ini, akan mengikuti proses pengadaan secara bersih, transparan, dan profesional untuk memberikan hasil kerja terbaik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan apabila melanggar hal-hal yang dinyatakan dalam PAKTA INTEGRITAS ini, penyedia jasa bersedia menerima sanksi administratif, menerima sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam, digugat secara perdata dan/atau dilaporkan secara pidana.

Demikian sekilas tentang persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa, dari uraian diatas para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang jasa di desa harus mengetahui persyaratan-persyaratan calon penyedia jasa untuk dapat ikut dalam pengadaan barang jasa di desa, sehingga menghindarkan Kepala Desa dan TPK dari permasalahan hukum, apabila terjadi permasalahan di kemudian hari.

PERSOALAN-PERSOALAN PBJ DESA YANG DITEMUI DI LAPANGAN

PERSOALAN-PERSOALAN YANG DITEMUI DI LAPANGAN

Hasil diskusi perihal temuan di lapangan terkait pelaksanaan pengadaan barang jasa di desa tahun anggaran 2015, masih meninggalkan banyak persoalan terkait masalah teknis dan administrasi, dan itu harus segera di tindaklanjuti, agar ke depan tidak ditemukan lagi persoalan-persoalan yang dapat menganggu pelaksanaan pembangunan di desa, melalui pengadaan barang jasa, sehingga para pihak yang terlibat pengadaan barang jasa di desa, dapat bekerja dan melaksanakan pengadaan barang jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan pengadaan barang jasa untuk tahun anggaran 2016 dapat berjalan lancar dan memenuhi peraturan perundang-undangan.

Hal yang mendesak yang harus segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan persoalan-persoalan dan temuan di lapangan perihal pelaksanaan pengadaan barang jasa di desa, adalah penerbitan atau revisi Peraturan Bupati/Walikota tentang pengadaan barang jasa di desa. Sebagian besar Peraturan Bupati/Walikota tentang pengadaan barang jasa di desa hampir seluruhnya meniru Perka LKPP nomor 13/2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa, Perka tersebut memang pedoman dalam pembuatan Peraturan Bupati/Walikota, tapi yang harus juga diperhatikan Peraturan Bupati/Walikota juga harus menyesuaikan dengan kondisi lapangan masing-masing daerah, karena karakteristik setiap daerah tentu berbeda beda, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun keadaan geografis daerah tempat Desa itu berada, contohnya masalah Pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) yang pencairannya dibagi dalam beberapa tahapan, setiap desa tentu ada yang berbeda waktunya dalam menerima pencairan ADD, ini disebabkan dalam pengajuan pencairan terebut ada persyaratan pertanggung jawaban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Desa, yang cepat dan lengkap tentunya lebih duluan menerima pencairan sebaliknya yang lambat otomatis terlambat pula penerima tahapan pencairan. Persoalan ini harusnya di akomadasi di Peraturan Bupati/Walikota tentang pengadaan barang jasa di desa, yang di salah satu klausulnya menjelaskan Pengadaan barang jasa baru dapat dilaksanakan setelah Pemerintah Desa telah mencairkan ADD, ini penting karena ada beberapa Desa, pencairan belum dilaksanakan tetapi mereka sudah melaksanakan tahapan pengadaan dan juga telah menandatangai kontrak pekerjaan. Ini dapat berakibat fatal, apabila pekerjaan telah selesai dilaksanakan tetapi sampai pekerjaan tersebut telah selesai ternyata pencairan ADD belum juga terealisir, siapa yang bertanggung jawab kalau masalah tersebut benar-benar terjadi. Dan juga yang harus diperhatikan apabila ternyata pencairan ADD itu dicairkan pada akhir tahun, tentunya waktunya tidak akan mencukupi untuk melaksanakan pengadaan barang jasa tersebut. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Bab II tentang Asas Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran” selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember”. Apabila melewati tahun anggaran tersebut dipastikan tidak dapat di biayai, kecuali ada peraturan lain yang mengatur masalah tersebut.

Masalah lainnya yang mendesak dan harus segera di tindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak kalah pentingnya adalah tentang Surat Perjanjian (SP) atau istilah yang mudah dipahami yaitu Kontrak, banyak Tim Pengelola Kegiatan (TPK) ataupun Kepala Desa belum atau tidak memahaminya, ini dapat dipahami, jangankan aparatur pemerintah desa ataupun TPK, Aparatur Sipil Negara (ASN) saja yang berkecimpung di Pengadaan Barang Jasa masih banyak yang belum memahaminya, solusi dari persoalan tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota secara kontinyu memberikan pemahaman dan pelatihan-pelatihan cara membuat kontrak yang benar, temuan dilapangan terkait masalah tersebut sering dijumpai, contohnya pekerjaan telah melewati tanggal yang telah di tentukan dan pekerjaan tersebut belum selesai dikerjakan, ini seharusnya ada sangsi atas keterlambatan tersebut, berhubung di klausul kontrak tidak mengatur masalah tersebut penyedia/pekerja mengelak untuk bertanggung jawab dan juga yang pernah ditemui adalah permasalahan addendum kontrak, akibat ketidak cermatan TPK dalam menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), begitu pekerjaan dilaksanakan baru diketahui ternyata ada kelebihan barang yang dibelanjakan contohnya material sebagai bahan baku pekerjaan, TPK dengan mudahnya melakukan addendum kontrak yang bertujuan kelebihan material ini dapat digunakan untuk pekerjaan lainnya, ini juga berdampak dengan berubahnya gambar bangunan. Pengajuan Addendum kontrak tidak sesederhana itu, ada kriteria-kriteria tertentu untuk dapat mengajukan addendum kontrak yaitu, keadaan kahar, ada masalah-masalah di luar kendali penyedia dan kriteria lainnya, dan addendum juga harus mendapat persetujuan dari TPK bila pengadaan itu melalui penyedia jasa (Perusahaan), sedangkan untuk metode swakelola harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, tanpa melewati proses yang disebutkan diatas addendum tidak dapat dilaksanakan.

Pembuatan Kontrak, baik itu melalui Penyedia Jasa maupun Swakelola harus benar-benar secara komprehensif untuk meminimalisir persoalan-persoalan yang nantinya akan ditemui. Masih banyak nantinya hal-hal yang harus segera ditindaklanjuti dan dicarikan solusi apabila ada persoalan-persoalan baru dalam pengadaan barang jasa di desa, pelatihan yang dilaksanakan secara terus menerus untuk TPK maupun Aparatur Desa serta masayarakat Desa yang berkecimpung dalam pengadaan barang jasa tersebut, dan juga yang tidak kalah pentingnya, yang harus TPK maupun Pemerintah Desa lakukan adalah banyak bertanya ataupun konsultasi kepada orang-orang yang memahami tentang pengadaan barang jasa, apabila ada hal-hal yang meragukan dan belum dipahami. Jangan sampai akibat dari ketidak sengajaan ataupun dari ketidaktahuan menjadi bumerang bagi para pihak yang terlibat pengadaan barang jasa di desa.

HASIL PEKERJAAN BUKAN METODE PENGADAAN

HASIL PEKERJAAN BUKAN METODE PENGADAAN.

Tujuan utama dari Proses pengadaan barang/jasa di desa, baik itu yang dilaksanakan melalui Penyedia jasa maupun swakelola, adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan Pemerintah Desa maupun Masyarakat Desa dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan.

Sedangkan tujuan digunakan peraturan peraturan pengadaan barang/jasa di desa baik itu Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) ataupun Peraturan-Peraturan Bupati yang di terbitkan di setiap Daerah adalah sebagai acuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di Desa adalah agar pelaksanaan barang/jasa di desa itu dilaksanakan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Metode apapun yang akan digunakan baik itu swakelola maupun penyedia jasa diserahkan kepada pihak yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan barang/jasa di desa, karakteristik setiap desa tentu berbeda beda, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun keadaan geografis desa, seharusnya siapapun tidak dapat memaksakan bahwa pengadaan barang/jasa di desa harus dilaksanakan secara swakelola maupun melalui penyedia jasa. Tidak hanya metode swakelola yang dapat memberdayakan masyarakat, melalui penyedia jasa juga bisa yaitu dengan cara Kepala Desa meminta kepada penyedia jasa untuk mengakomadasi masyarakat desa tersebut untuk bekerja sebagai pekerja harian lepas ataupun tukang kayu maupun batu sementara mandor harus tetap menggunakan pekerja dari penyedia jasa untuk mengawasi kualitas pekerjaan dan untuk bahan baku sesuai dengan ketentuan apabila ada wajib membeli di desa tersebut, daripada pekerjaan swakelola tapi kenyataan dilapangan malah menggunakan tenaga kerja dari luar desa itu sendiri, dan bahan baku malah membeli dari luar daerah padahal di desa tersebut tersedia bahan baku untuk menunjang pekerjaan dimaksud. Perbedaan swakelola maupun penyedia jasa menjadi bias.

Banyak pihak seringkali mempermasalahkan metode pengadaan barang/jasa, sementara hasil akhir (output) yang merupan tujuan utama pengadaan barang/jasa di desa kurang mendapat perhatian, memang benar tujuan dari pengadaan barang jasa di desa adalah pemberdayaan masyarakat, sering kata pemberdayaan ini, dipahami dalam arti sempit yaitu masyarakat yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa mendapatkan keuntungan/hasil secara langsung, yang dimaksud dalam kalimat pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi, partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dengan terlibat langsung dengan proses kegiatan-kegiatan maupun ikut mengawasi kegiatan-kegiatan dimaksud, peran serta masyarakat merupakan hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Banyak pihak pula yang terlibat dan merasa berkepentingan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan di Desa, inilah yang menyebabkan adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan untuk kepentingan kelompoknya dalam pengadaan barang/jasa tersebut, metode yang digunakan baik itu melalui Penyedia Jasa maupun Swakelola tidak jadi masalah bagi mereka, oknum-oknum tersebut selalu punya cara untuk mensiasatinya. Disinilah peran serta dan partisipasi aktif masyarakat desa sebagaimana diamanatkan di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus ditingkatkan yaitu dengan ikut mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang ada di Desa mereka.

Para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa diharapkan tidak mengarahkan pihak-pihak yang tidak berkompenten untuk terlibat dalam pengadaan barang/jasa tersebut, apabila suatu pekerjaan tidak dapat di swakelolakan, dikarenakan tidak adanya warga masyarakat yang bersedia dan mampu melaksanakan pekerjaan tersebut langkah yang bijak adalah menggunakan Penyedia Jasa yang mampu dan mempunyai kualitas atau pengalaman dalam pekerjaan dimaksud, demikian pula apabila ada warga desa yang mau dan mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kualitas yang diinginkan, maka wajib memberikan kesempatan kepada warga Desa itu sendiri dengan menggunakan metode swakelola. Fakta dilapangan pernah ditemui yaitu Kepala Desa harus menanggung biaya perbaikan gedung yang telah dikerjakan, karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Mau tidak mau Kepala Desa merombak bangunan tersebut, dengan biaya pribadi agar gedung tersebut sesuai dengan spesifikasi dan layak untuk ditempati dan digunakan. Penyebab “kegagalan bangunan” dikarenakan Kepala Desa mengakomodasi permintaan dari warga untuk ikut berperan serta dalam pembangunan gedung tersebut, Kepala Desa sebenarnya mengetahui kalau warga yang ikut berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut, belum memiliki keahlian dalam pekerjaan pembangunan gedung, tetapi berhubung Kepala Desa dituntut warga dan berdasarkan factor kemanusiaan yaitu agar warga mendapatkan hasil dari kegiatan yang ada di desa, keinginan beberapa warga tersebut di akomodir dan yang terjadi bangunan gedung tidak sesuai dengan spesifikasi, warga yang bekerja di pekerjaan itu, tidak mau tahu dan tidak mau bertanggung jawab atas “kegagalan bangunan” tersebut, imbasnya Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa bertanggung jawab dan wajib memberbaiki bangunan, walaupun menggunakan uang pribadi Kepala Desa.

Itu salah satu contoh permasalahan yang di temukan dilapangan masih banyak contoh-contoh lainnya, dari contoh diatas, Kepala Desa harus tegas dalam pengendalian dan pengawasan di lapangan dengan tidak mengakomodasi berbagai kepentingan yang justru akan menjerumuskan Kepala Desa itu sendiri. Siapapun boleh terlibat dan ikut dalam kegiatan-kegiatan ataupun pekerjaan-pekerjaan di Desa, tetapi tentunya hasil pekerjaan harus sesuai kualitas yang telah ditetapkan dapat di pertanggung jawabkan.

Yang harus digaris bawahi dari penjelasan diatas adalah metode apapun yang akan digunakan dalam pengadaan barang/jasa di desa harus sesuai dengan tujuan utama pengadaan barang/jasa, yaitu barang/jasa yang diterima sesuai jumlah yang diminta, dengan kualitas barang/jasa sesuai spesifikasi, harga yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak melebihi jangka waktu yang telah disepakati dan tempat/lokasi pekerjaan yang telah ditentukan, serta hasil pekerjaan/output dari pengadaan barang/jasa tersebut dapat dinikmati, dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat desa itu sendiri.

Tahapan-Tahapan Penyerahan Hasil Pekerjaan Penyedia Jasa Sampai Dengan Laporan Hasil Pekerjaan

Tahapan-Tahapan Penyerahan Hasil Pekerjaan Penyedia Jasa Sampai Dengan Laporan Hasil Pekerjaan

 Di artikel (baca Penyedia Jasa (Pihak Ketiga) Dalam Pengadaan Barang/Jasa Di Desa) telah di jabarkan langkah-langkah atau tahapan-tahapan TPK (Tim Pengelola Kegiatan) pada proses pengadaan dari mulai kesiapan TPK melaksanakan pekerjaan sampai dengan penandatangan kontrak antara TPK dengan Penyedia Jasa. Sesuai dengan di paragraph terakhir pada artikel tersebut yakni penyerahan hasil pekerjaan penyedia jasa, pemeriksaaan hasil pekerjaan, pembayaran hasil pekerjaan, penerimaan hasil pekerjaan dan laporan hasil pekerjaan akan dibahas di artikel berikutnya, kami mencoba menjabarkan proses atau tahapan-tahapan yang dimaksud.

Setelah pekerjaan selesai dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati maka tahapan selanjutnya adalah sebagai berikut:

  1. Penyedia jasa membuat surat yang ditujukan kepada Ketua TPK perihal Penyerahan Hasil Pekerjaan, dalam surat tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan telah selesai dan Penyedia Jasa menyerahkan hasil pekerjaan dimaksud untuk diadakan pemeriksaan apakah pekerjaan tersebut telah memenuhi spesifikasi teknis dan volume yang disepakati di Surat Perjanjian;
  2. Berdasarkan penyerahan hasil pekerjaan itu, TPK bersama-sama dengan Penyedia Jasa melakukan pemeriksaan atas pekerjaan tersebut, disini saya mencontohkan pekerjaan penimbunan dan perkerasan jalan, TPK melakukan pemeriksaan apakah lebar jalan dan dan ketebalan timbunan sudah sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dan TPK harus menggunakan alat ukur kemudian di dokumentasikan dalam bentuk foto, apabila telah sesuai maka TPK menyatakan menerima hasil pekerjaan dari penyedia jasa tersebut tetapi bila tidak sesuai maka TPK memerintahkan kepada Penyedia Jasa tersebut untuk memambah atau memperbaiki pekerjaan dimaksud agar sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dan bila sudah sesuai dengan ketentuan yang disepakati, hasil pemeriksaan pekerjaan ini juga harus dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;
  3. Setelah pernyataan pekerjaan diterima oleh TPK, langkah selanjutnya adalah pembayaran hasil pekerjaan kepada pihak penyedia jasa. Bukti pembayaran hasil pekerjaan berupa Kuitansi. Pembayaran dilakukan oleh Bendahara Desa kepada Penyedia jasa setelah di verifikasi (di paraf) oleh Sekretaris Desa dan disetujui oleh Kepala Desa. Proses Pembayaran pekerjaan ini harus dibuatkan Berita Acara Pembayaran Pekerjaan antara Pihak TPK dan Pihak Penyedia Jasa dan dalam Berita Acara tersebut menyebutkan jumlah uang yang harus dibayarkan. (Kuitansi dilampirkan);
  4. Selanjutnya setelah pembuatan Berita Acara Pembayaran, TPK membuat Berita Acara Penerimaan Hasil Pekerjaan yang dalam berita acara tersebut memuat keterangan PIHAK PERTAMA (TPK) menyatakan bahwa telah menerima hasil pekerjaan dalam keadaan baik dari PIHAK KEDUA (Penyedia Jasa) sesuai dengan Surat Perjanjian dan PIHAK KEDUA telah menyerahkan hasil pekerjaan dalam keadaan baik kepada PIHAK PERTAMA sesuai dengan Surat Perjanjian;
  5. Proses selanjutnya atau terakhir adalah TPK membuat surat yang ditujukan kepada Kepala Desa Perihal Laporan Hasil Pekerjaan, yang mana dalam surat itu menjelaskan bahwa pekerjaan tersebut telah selesai dilaksanakan pada waktu yang telah disepakati. Dalam surat tersebut terlampir pula dokumen pelaksanaan Pekerjaan dan dokumentasi (foto-foto) pekerjaan mulai dari awal pekerjaan sampai dengan selesainya pekerjaan.

Pada point 3 sebelum proses pembayaran dalam bentuk Kuitansi tersebut, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Pasal 27 sampai dengan Pasal 31, TPK yang diwakili oleh Ketua TPK sebagai Pelaksana Kegiatan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa yang harus diverifikasi oleh Sekretaris Desa dan disetujui oleh Kepala Desa baru Bendahara Desa membayar lunas sejumlah uang yang diminta, syarat-syarat pengajuan SPP seperti Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja dan lain sebagainya harus dilengkapi sesuai dengan yang diperintahkan di Permendagri tersebut.

Demikian tahapan-tahapan/langkah-langkah TPK dari mulai awal, yaitu kesiapan TPK melaksanakan pekerjaan, selanjutnya proses mendapatkan penyedia jasa untuk melaksanakan pekerjaan sampai dengan selesainya pekerjaan yaitu laporan hasil pekerjaan dari TPK ke Kepala Desa, tahapan-tahapan/langkah-langkah Pengadaan Barang/Jasa ini sesuai dan berdasarkan Perka LKPP nomor 13/2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa sementara untuk proses pembayaran pekerjaan harus berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

SWAKELOLA ATAU PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA)???

SWAKELOLA ATAU PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA)???

Di artikel ini yang dibahas hanya tentang pekerjaan konstruksi yang akan dilaksanakan melalui Swakelola Atau Penyedia Jasa (Pihak Ketiga).

 Pasal 4 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa PADA PRINSIPNYA dilakukan SECARA SWAKELOLA dengan memaksimalkan penggunaan material/bahan dari wilayah setempat, dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat, untuk memperluas kesempatan kerja, dan pemberdayaan masyarakat setempat”.

Sementara pada Pasal 5 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang TIDAK DAPAT dilaksanakan secara Swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, DAPAT dilaksanakan oleh PENYEDIA BARANG/JASA yang dianggap mampu. Hal ini dipertegas lagi di Bab II lampiran Perka tersebut pada ketentuan umum angka 2 yaitu kriteria PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA yang membutuhkan TENAGA AHLI dan/atau PERALATAN BERAT, TIDAK DAPAT dilaksanakan cara Swakelola. Dari penjelasan diatas diperoleh gambaran pekerjaan melalui Swakelola, kriterianya adalah PEKERJAAN KONSTRUKSI SEDERHANA dan bila melalui Penyedia Jasa (Pihak Ketiga) kriterianya adalah PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA

PEKERJAAN KONSTRUKSI SEDERHANA

Definisi Pekerjaan Konstruksi Sederhana menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 9 ayat (2) berbunyi Usaha orang perseorangan selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan dengan biaya kecil”. Kemudian di Pasal 10 ayat (1) huruf a menjelaskan Kriteria risiko pada pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri dari :

  1. kriteria risiko kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak membahayakan keselamatan umum dan harta benda;

 Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) huruf a menyebutkan Kriteria penggunaan teknologi pada pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri dari :

  1. kriteria teknologi sederhana mencakup pekerjaan konstruksi yang menggunakan alat kerja sederhana dan tidak memerlukan tenaga ahli;

 

Contoh Pekerjaan Konstruksi Sederhana

Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa tidak secara detail menjelaskan kriteria dan contoh-contoh pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilaksanakan secara swakelola baik itu Pekerjaan konstruksi sederhana ataupun Pekerjaan pengadaan barang/jasa. Untuk pekerjaan konstruksi sederhana dapat mengacu ke Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 31 huruf c Perpres 54/2010 tersebut berbunyi “Pengadaan secara swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dilaksanakan dengan  ketentuan sebagai berikut:

  1. pengadaan Pekerjaan Konstruksi hanya dapat berbentuk rehabilitasi, renovasi dan konstruksi sederhana;

Di penjelasan Perpres 54/2010 Pasal 31 huruf c  tersebut menyebutkan yang dimaksud pekerjaan rehabilitasi dan renovasi sederhana antara lain pengecatan dan pembuatan/pengerasan jalan lingkungan.

Dan harus juga yang harus diketahui, untuk mendukung kegiatan pekerjaan Swakelola, pengadaan Barang/Jasa yang tidak dapat disediakan dengan cara Swadaya, dapat dilakukan oleh Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu oleh TPK, caranya TPK membuat surat Pesanan kepada Toko/Pemasok/Penyedia barang dan jasa dimana dalam Surat Pesanan tersebut terinci Jenis barang/jasa yang diperlukan, spesifikasi, volume dan lain sebagainya {Baca di artikel Survey Harga Oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK)}.

 

PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA

Bila kriteria di Pekerjaan Konstruksi Sederhana yaitu berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan dengan biaya kecil, tentunya kriteria berisiko kecil sampai sedang, berteknologi sederhana sampai madya, serta berbiaya kecil sampai sedang dan juga yang berisiko tinggi dan atau yang berteknologi tinggi dan atau yang berbiaya besar ini semua termasuk dalam Pekerjaan Konstruksi Tidak Sederhana (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 9 ayat (3) dan ayat (5). Contoh pekerjaan konstruksi tidak sederhana antara lain, Pembangunan Gedung Serba Guna, Pembangunan Jembatan, Pengaspalan jalan dan lain sebagainya

 Dari keterangan diatas dapat disimpulkan dengan jelas mana pekerjaan yang dapat dilaksanakan dengan metode swakelola dan mana yang tidak dapat dilaksanakan dengan metode swakelola. Jangan dipaksakan swakelola apabila itu seharusnya lewat Penyedia Jasa (pihak Ketiga) maupun sebaliknya bila itu dapat diswakelolakan jangan dipaksakan melalui Penyedia Jasa.

Tetapi itu semua dikembalikan kepada para pihak yang melaksanakan dan terlibat dalam pekerjaan tersebut dalam hal ini Kepala Desa dan TPK, bila ada yang tidak dimengerti bertanyalah kepada siapa saja yang memahami prosedur pengadaan barang/jasa, jangan hanya ingin mendengar pendapat yang hanya ingin di dengar, Prosedur atau tata cara pengadaan barang/jasa harus benar-benar dipahami, ikutilah peraturan-peraturan yang berlaku, karena peraturan-peraturan itulah yang bisa menolong/menyelamatkan kita bila terjadi permasalahan di kemudian hari.

PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA) DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA.

PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA) DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA.

Pasal 5 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang tidak dapat dilaksanakan secara Swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu.

Kemudian di Bab II lampiran Perka tersebut pada ketentuan umum angka 2 berbunyi “Khusus untuk pekerjaan konstruksi tidak sederhana, yaitu pekerjaan konstruksi yang membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, tidak dapat dilaksanakan cara Swakelola.

Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu

Kriteria pada kalimat “Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu” pada Pasal 5 bertujuan agar kegiatan/pekerjaan yang akan dilaksanakan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dapat meminta informasi ke Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Kabupaten/Kota, ULP dipastikan mengetahui penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut berdasarkan pengalaman perusahaan tersebut dalam melaksanakan pekerjaan sejenis serta perusahaan tersebut memenuhi persyaratan teknis dan administrasi serta memenuhi kualifikasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, TPK juga dapat mencari informasi kepada pihak-pihak yang mengetahui penyedia jasa mana yang sesuai dengan kriteria tersebut diatas.

Tahapan-tahapan/Langkah-langkah TPK pada proses pengadaan

Setelah TPK mengetahui dan mendapatkan informasi penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan yang akan dilaksanakan, Tahapan-tahapan/langkah-langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:

  1. TPK memberitahukan kepada Kepala Desa bahwa TPK telah siap melaksanakan pekerjaan yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes);
  2. Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa membuat surat kepada TPK perihal Permintaan Pelaksanaan Pekerjaan;
  3. TPK kemudian meminta penawaran kepada penyedia jasa (untuk pengadaan bernilai Rp.50 jt sampai dengan 200 jt cukup 1 (satu) penyedia jasa, sedangkan bila bernilai lebih dari 200 jt harus mengundang/meminta penawaran 2 (dua) penyedia jasa) harga penawaran dari penyedia jasa sudah termasuk pajak, bea meterai dan jasa penggandaan dan juga harus dilampiri persyaratan administrasi yaitu foto kopi Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) untuk pekerjaan konstruksi dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk pengadaan barang dan foto kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perorangan ataupun badan usaha serta persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan;
  4. Setelah TPK mendapatkan harga penawaran dari Penyedia Jasa dan menyetujuinya serta persyaratan yang diminta terpenuhi (bila 2 (dua) penyedia jasa, maka TPK memilih salah satu pemenang untuk ke proses selanjutnya, pemenang berdasarkan harga terendah dan memenuhi persyaratan yang diminta), TPK kemudian mengundang Penyedia Jasa tersebut untuk mengikuti proses selanjutnya yaitu Negoisasi dan klarifikasi;
  5. Apabila TPK dan Penyedia Jasa tidak mencapai kesepakatan harga penawaran dalam proses negoisasi dan klarifikasi, TPK membatalkan semua tahapan diatas dan mengundang Penyedia Jasa baru untuk mengikuti proses sebagaimana tahapan diatas, dan apabila dalam proses negoisasi dan klarifikasi terjadi kesepakatan maka TPK akan membuat surat yang ditujukan kepada penyedia jasa dimaksud perihal Persetujuan Penawaran Harga;
  6. Setelah terjadi persetujuan harga penawaran, TPK mengundang Penyedia Jasa untuk melaksanakan Penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama yang diketahui oleh Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa;
  7. Surat Perjanjian Kerjasama ditandatangani kedua belah pihak dan minimal memuat Pasal-Pasal sebagai berikut:
  • Ruang Lingkup Pekerjaan
  • Nilai Pekerjaan Dan Cara Pembayaran
  • Hak Dan Kewajiban
  • Jangka Waktu Pelaksanaan Pekerjaan
  • Force Majeure
  • Pembatalan/Pemutusan Perjanjian
  • Penyelesaian Perselisihan
  • Sanksi & Denda
  • Ketentuan Penutup

Demikianlah tahapan-tahapan/langkah-langkah yang harus ditempuh TPK untuk mendapatkan penyedia jasa mulai dari tahap awal yaitu pemberitahuan kepada Kepala Desa sampai dengan proses terakhir yaitu penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama. Tahapan-tahapan seperti dijelaskan diatas harus didokumentasikan dalam bentuk surat dan berita acara dan menjadi bagian dari dokumen pengadaan.

Tahapan-tahapan/langkah-langkah selanjutnya yaitu penyerahan hasil pekerjaan penyedia jasa, pemeriksaaan hasil pekerjaan, pembayaran hasil pekerjaan, penerimaan hasil pekerjaan dan laporan hasil pekerjaan akan dibahas di artikel berikutnya.

KPK Temukan 14 Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

KPK Temukan 14 Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

Diterbitkan pada Jumat, Juni 12 2015

Jakarta, 12 Juni 2015. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang berimplikasi pada disetujuinya anggaran sejumlah Rp 20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama pada 63 kabupaten senilai lebih dari Rp 898 miliar.

Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni:

  • aspek regulasi dan kelembagaan;
  • aspek tata laksana;
  • aspek pengawasan; dan
  • aspek sumber daya manusia.
  • Pada aspek regulasi dan kelembagaan

KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain;

  1. Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa;
  2. Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri;
  3. Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan;
  4. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta
  5. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Persoalan yang cukup mencolok, adalah formula pembagian dana desa yang berubah disebabkan dari PP No. 60 tahun 2014 menjadi PP No. 22 tahun 2015. Pada Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014 formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel, sementara pada Pasal 11 PP No. 22 tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen dan hanya 10 persen yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.

Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No. 60/2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, Desa A mendapatkan Rp 312 juta dan Desa B mendapatkan 263 juta.

  • Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain:
  1. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa;
  2. Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa Belum Tersedia;
  3. Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa Masih Rendah;
  4. Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi; serta
  5. APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Mengenai poin terakhir ini, berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.

Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh dibanding…….….., meski daerahnya minim infratruktur.

  • Pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni:
  1. Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah;
  2. Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah; dan
  3. Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Camat belum jelas.
  • Pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.

Atas sejumlah persoalan yang ada, KPK berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. KPK berpandangan, dana desa haruslah mampu memajukan desa dan memberdayakan masyarakatnya.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Priharsa Nugraha
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
Ponsel: 0815.8536.8486
http://www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

PENDAMPING DESA

PENDAMPING DESA

Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendamping Desa Pasal 4 menyebutkan pendampingan desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas:

  1. Tenaga pendamping professional
  2. Kader pemberdayaan masyarakat desa
  3. Pihak Ketiga

Tenaga pendamping professional yang terdiri dari:

  1. Pendamping Desa;
  2. Pendamping Teknis; dan
  3. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat.

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

Para pendamping professional tersebut berkedudukan di Kecamatan, Kabupaten, Pusat dan Provinsi. Disini tidak dibahas tentang  Tenaga pendamping professional, dikarenakan kedudukan mereka bukan di Desa, yang menjadi pokok pembahasan di tulisan ini adalah Kader pemberdayaan masyarakat desa yang berkedudukan di Desa dan pastinya terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di Desa tempat mereka berkedudukan.

Tugas seorang Kader pemberdayaan masyarakat desa tidaklah ringan, sesuai Pasal 18 dan Pasal 19 Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015. Tentunya masyarakat maupun jajaran Pemerintahan Desa berharap banyak dari “kemampuan” Kader, kader adalah orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pengorganisasian kegiatan-kegiatan di wilayah Pemerintahan Desa tersebut. Di Pasal 19 ayat (2) tugas kader adalah melakukan pengorganisasian kegiatan-kegiatan yang dijabarkan pada huruf a sampai dengan huruf e.

Pengorganisasian berasal kata dasar organisasi yang artinya kelompok kerjasama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Tugas seorang kader adalah membuat visi dan misi organisasi, visi dan misi inilah yang mengikat dan menyatukan semua pihak didalamnya untuk saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disamping menyatukan visi dan misi seorang kader juga harus mampu mendorong para anggotanya untuk berperan aktif serta memberikan kontribusi baik itu pemikiran maupun kontribusi dalam bentuk lainnya kepada organisasi sebagai upaya mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap organisasi, tetapi itu tidaklah mudah karena setiap orang punya pendapat, kepentingan, motif dan ego sendiri-sendiri. Seorang kader harus mampu pula menyatukannya, bila kader tidak mampu melakukannya maka akan terjadi konflik dan itu sangat berpengaruh terhadap tujuan organisasi, dalam mencapai tujuan bersama sebagaimana yang diharapkan.

Akomodasi dan Kompromi

Beberapa cara yang dilakukan kader untuk menghindari konflik tersebut adalah dengan cara mengakomodasi para pihak yang punya kepentingan tersebut, tujuan akomodasi adalah mengorbankan beberapa kepentingan dari salah satu pihak agar kepentingan pihak lain mendapatkan prioritas dalam kegiatan. Hal ini dilakukan jika Kader merasa bahwa kepentingan pihak lain yang diakomodasi tersebut lebih utama, lebih penting dan juga tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan skala prioritas dan penting, serta hubungan baik menjadi hal yang utama. Disamping akomodasi, hal lain yang juga harus dilakukan kader adalah kompromi. Kompromi ditempuh apabila ke dua belah pihak dalam organisasi tersebut merasa bahwa pendapat mereka harus diutamakan dan diakomodir karena sama–sama penting, disini peran kader adalah menjaga hubungan baik kedua belah pihak, dan kader harus mampu meyakinkan, bahwa masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya (win-win solution), dan berkolaborasi (saling bekerjasama) untuk meraih tujuan utama yang akan dicapai.

Koordinasi

Pasal 19 Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 menyebutkan Kader pemberdayaan masyarakat desa mendampingi Kepala Desa dalam hal pengorganisasian pembangunan Desa, seperti yang dijelaskan dalam huruf a sampai dengan huruf e. Pasal 19 ini bisa menimbulkan kebingungan Kepala Desa beserta perangkatnya, mengingat di Pemerintahan Desa sudah ada organisasi tersendiri yaitu Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dan Perangkat Desa selaku Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) dan untuk PTPKD menurut ketentuan yang berlaku, Sekretaris Desa adalah Koordinator PTPKD, dan merekalah (TPK & PTPKD) yang melaksanakan pembangunan dan kegiatan-kegiatan tersebut. Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tidak menjelaskan secara detail maksud dari pengorganisasian tersebut, apakah kader tersebut juga mengorganisasikan TPK dan PTPKD? Kader harus bisa menjelaskan posisi/kedudukan mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut, dan juga harus mengkoordinasikan tugas pokok dan fungsi mereka kepada Pemerintah Desa, dalam hal ini Kepala Desa agar tidak terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan.

Komunikasi

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, Kader pemberdayaan masyarakat desa dituntut dapat berkomunikasi dengan efektif, artinya mereka mampu dan dapat menciptakan suatu persamaan pemahaman/persepsi diantara mereka sendiri maupun dengan pihak-pihak terkait lainnya dan pesan yang disampaikan dapat dipahami dan mengerti. Ini penting karena karena komunikasi sangat berperan dalam proses akomodasi, kompromi, kolaborasi dan juga koordinasi. Di Pasal 19 ayat (2) tugas kader dijabarkan pada huruf a sampai dengan huruf e. Kader diharapkan banyak menguasai pengetahuan-pengetahuan tentang berbagai hal, misalnya tentang BUM Des, mereka harus bisa menjelaskan apa itu BUM Des, tata cara pendirian, susunan keanggotaan, status BUM Des, dan lain sebagainya, itu baru BUM Des, Kader juga harus tahu apa itu pasar Desa dan lain-lainnya sebagaimana tertuang dalam Permendes tersebut. Dengan menguasai itu semua kader akan mudah berkomunikasi dalam menyampaikan pesan dan memberikan penjelasan-penjelasan secara sederhana sehingga mudah dipahami oleh pendengarnya. Dalam berkomunikasi kader tidak hanya dituntut menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga ketrampilan dalam berkomunikasi karena komunikasi adalah seni, seni untuk dapat mempengaruhi dan mengikuti atau menggiring pendengar untuk mengikuti apa yang ingin kita tuju.  Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil sesuai tujuan bersama suatu organisasi, sebaliknya kurang atau tidak adanya komunikasi, yang baik maka tujuan organisasi akan sulit diraih.

Petunjuk Teknis

Dari sekian banyak kegiatan yang harus dilaksanakan Kader pemberdayaan masyarakat desa di permendes tersebut apakah pihak Kementrian Desa sudah menerbitkan/mengeluarkan petunjuk-petunjuk teknis? mengingat banyak sekali hal hal yang memerlukan pedoman dalam pelaksanaan permendes tersebut. misalnya musyawarah desa perihal pemilihan Kader pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 31). Di pasal tersebut tidak menjelaskan kriteria dan jumlah Kader pemberdayaan masyarakat desa, apabila lebih dari satu orang yang ingin menjadi Kader pemberdayaan masyarakat desa bagaimana proses seleksinya. Petunjuk-petunjuk teknis tersebut bukan hanya berisi ketentuan dan syarat-syarat saja tapi juga harus ada format baku berita acara dan lain sebagainya, contohnya berita acara pemilihan Kader pemberdayaan masyarakat desa. Petunjuk-petunjuk teknis tersebut dapat digunakan:

  1. Sebagai acuan bagi Pemerintah Desa dalam pemantauan dan pengendalian pelaksanakan kegiatan-kegiatan yang diamanatkan di Permendes tersebut.
  2. Memberikan panduan bagi Pemerintah Daerah dalam pengendalian pelaksanaan pendampingan di tingkat masyarakat, dan dalam memantau, evaluasi kemajuan program terkait dengan pelaksanaan oleh Pendamping Desa termasuk penilaian kinerja Pendamping Desa.
  3. Memberikan panduan bagi Pendamping Desa dalam pendampingan / memfasilitasi masyarakat dan para pemangku kepentingan di desa/kecamatan untuk menyusun rencana kerja pelaksanaan kegiatan di tingkat masyarakat
  4. Memahami secara menyeluruh segala bentuk pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan
  5. Dsb…….

Semoga dengan kebijakan perekrutan pendamping desa oleh kementrian desa ini benar-benar mendapatkan kualifikasi pendamping desa berwatak pemberdayaan bukan sekedar pendamping desa berkualifikasi pencari kerja.

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA DENGAN PEKERJA HARIAN LEPAS

PERJANJIAN KERJA PEKERJA HARIAN LEPAS

Nomor: ………………………………………

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

1.    Nama

Jabatan

Alamat

:

:

:

…………………………..

…………………………..

…………………………..

Dalam hal ini bertindak atas nama dan untuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Desa……….. selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

 

2.    Nama

Jabatan

Alamat

:

:

:

Terlampir

Terlampir

Terlampir

Dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri dan atau bersama-sama untuk atas nama tersebut dalam lampiran surat ini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan selanjutnya disebut PIHAK KEDUA (PEKERJA).

Dengan ini PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA telah sepakat untuk membuat Perjanjian Kerja Pekerja Harian Lepas yang mengikat kedua belah pihak sesuai dengan pasal-pasal di bawah ini:

Pasal 1

JENIS PEKERJAAN DAN TEMPAT KERJA

(1)  Pekerjaan  yang  akan  diserahkan  oleh  PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA adalah ……………………… berlokasi di …………………………

(2)  Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu, tempat, volume dan jenis pekerjaan akan ditentukan oleh PIHAK PERTAMA sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

(3)  PIHAK KEDUA wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan/arahan dari PIHAK PERTAMA.

(4)  PIHAK KEDUA apabila diperlukan bersedia melakukan tugas dan pekerjaan dimana pengaturan dan penempatannya ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA

Pasal 2

HARI DAN JAM KERJA

(1)  Hari dan jam kerja untuk  pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang waktunya, akan ditentukan oleh PIHAK PERTAMA sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2).

(2)  Hari kerja yang dimaksud pada ayat (1) dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu, Minggu dan hari-hari besar keagamaan/nasional libur.

(3)  Jam kerja dimulai pukul 08.00 Wib sampai dengan pukul 16.00 Wib, dengan 1 (satu) jam waktu istirahat mulai pukul 12.00 Wib sampai dengan 13.00 Wib kecuali hari Jumat, istirahat mulai jam 11.00 Wib sampai dengan jam 13.00 Wib.

(4)  Jumlah jam kerja dalam satu hari 8 (delapan) jam kecuali untuk hari Jumat dan jumlah hari kerja paling banyak 20 (dua puluh) hari dalam sebulan.

(5)  Apabila  PIHAK   PERTAMA    meminta   PIHAK   KEDUA   untuk   bekerja  di  luar jam kerja sebagaimana disebut  pada ayat (4) maka PIHAK  KEDUA  berhak  mendapat  upah  lembur, PIHAK KEDUA mendapatkan 30 %(tiga puluh prosen) per jam dari upah harian dengan ketentuan tambahan jam kerja (lembur) maksimal 3 (tiga) jam dalam satu hari.

Pasal 3

UPAH

(1)  PIHAK  PERTAMA setuju dan bersedia memberikan upah kepada PIHAK  KEDUA  sebesar Rp.…(…………..…) setiap hari kehadiran kerja PIHAK KEDUA.

(2)  Apabila PIHAK  KEDUA  tidak hadir, dengan alasan apapun maka PIHAK  PERTAMA  tidak membayarkan upah harian kepada PIHAK KEDUA.

(3)  Pembayaran  upah oleh PIHAK  PERTAMA kepada PIHAK  KEDUA  dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu yakni pada setiap hari Sabtu

(4)  Tambahan upah penambahan jam kerja (lembur) sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (5)

Pasal 4

PERATURAN KERJA

Pokok-pokok peraturan kerja adalah berikut ini :

(1) PIHAK  KEDUA wajib menegakkan dan melaksanakan semua disiplin kerja yang telah ditetapkan PIHAK PERTAMA.

(2) PIHAK  KEDUA wajib mematuhi dan melaksanakan sepenuhnya setiap arahan dan perintah yang disampaikan PIHAK PERTAMA.

(3) PIHAK  KEDUA tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :

  1. Membantah dan atau menolak perintah/instruksi dari PIHAK PERTAMA;
  2. Tidak masuk kerja selama….(…….) hari berturut-turut  tanpa keterangan tertulis atau alasan yang sah yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Melakukan pencurian, penggelapan, dan atau perbuatan melawan hukum lainnya;
  4. Memberikan keterangan palsu, atau melakukan perbuatan lain yang menimbulkan kericuhan di lokasi pekerjaan ataupun diwilayah pemerintah Desa…………..;
  5. Mabuk, berjudi, menggunakan obat terlarang atau melakukan perbuatan asusila di lingkungan kerja;
  6. Melakukan tindak kejahatan, misalnya menyerang, mengintimidasi, atau menipu PIHAK PERTAMA atau teman sekerja dan memperdagangkan barang terlarang baik di dalam maupun di luar lingkungan wilayah Pemerintahan Desa………..;
  7. Menganiaya, mengancam secara fisik atau mental, menghina secara kasar PIHAK PERTAMA atau keluarga PIHAK PERTAMA dan teman sekerja;
  8. Melakukan  pelanggaran  lainnya  yang  dapat  dikategorikan  sebagai pelanggaran  berat  menurut peraturan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.

(4) PIHAK  KEDUA  harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat PIHAK PERTAMA seperti yang dijelaskan pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.

(5) Apabila   PIHAK    KEDUA   melakukan   pelanggaran yang dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g maka PIHAK PERTAMA berhak memberikan   sanksi yaitu pemberhentian kerja dan dapat dilaporkan ke aparat penegak hukum sesuai  tingkat

(6) Apabila PIHAK KEDUA melihat atau menemukan ketidak beresan yang dapat menganggu dan berpotensi merugikan atau menghambat pekerjaan, yang bersangkutan dapat menyampaikannya secara langsung kepada PIHAK PERTAMA ataupun pihak Pemerintah Desa.

Pasal 5

 HUBUNGAN KERJA

(1) Hubungan  kerja antara PIHAK  PERTAMA  dan PIHAK  KEDUA  berlaku selama ……………….bulan terhitung sejakperjanjian ini ditandatangani dan berakhir pada tanggal ……….. bulan ………….. tahun ……………..

(2) Apabila pekerjaan tersebut ternyata belum selesai maka kedua belah pihak dapat membuat pembaruan perjanjian atas kesepakatan tertulis dari kedua belah pihak.

(3) Setiap waktu hubungan kerja antara PIHAK  PERTAMA  dengan PIHAK  KEDUA  dapat diakhiri bilamana PIHAK KEDUA melanggar ketentuan-ketentuan yang dijelaskan pada Pasal 4 (ayat 3).


Pasal 6

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian Kerja Pekerja Harian Lepas ini akan ditentukan kemudian dalam suatu addendum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Kerja ini dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian ini dan segala akibat hukumnya, hanya tunduk pada hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

(3) Apabila  terjadi  perselisihan  dalam  pelaksanaan  perjanjian  ini,  maka kedua  belah  pihak  akan menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.

(4) Apabila  secara musyawarah untuk mufakat  tidak  memuaskan  kedua  belah  pihak, maka  akan diselesaikan lewat jalur hukum. Untuk maksud tersebut kedua belah pihak memilih tempat kediaman hukum  yang tidak berubah pada Kantor Pengadilan Negeri Pangkalan Bun untuk menyelesaikannya.

Pasal 7

PENUTUP

Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani PIHAK PERTAMA  dan PIHAK KEDUA yang dibuat  dalam  rangka  2 (dua)  dengan  dibubuhi  materai  secukupnya dan  masing-masing  mempunyai kekuatan hukum yang sama, dibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.

Ditandatangani di :…………………………

Pada tanggal     : ………………………….

PIHAK PERTAMA

……………………. (nama ketua TPK)

PIHAK KEDUA

Materai rp. 6.000

……………………(satu orang mewakili para pekerja)

Mengetahui,

Kepala Desa………………….

Ttd

……………………….