SWAKELOLA ATAU PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA)???

SWAKELOLA ATAU PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA)???

Di artikel ini yang dibahas hanya tentang pekerjaan konstruksi yang akan dilaksanakan melalui Swakelola Atau Penyedia Jasa (Pihak Ketiga).

 Pasal 4 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa PADA PRINSIPNYA dilakukan SECARA SWAKELOLA dengan memaksimalkan penggunaan material/bahan dari wilayah setempat, dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat, untuk memperluas kesempatan kerja, dan pemberdayaan masyarakat setempat”.

Sementara pada Pasal 5 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang TIDAK DAPAT dilaksanakan secara Swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, DAPAT dilaksanakan oleh PENYEDIA BARANG/JASA yang dianggap mampu. Hal ini dipertegas lagi di Bab II lampiran Perka tersebut pada ketentuan umum angka 2 yaitu kriteria PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA yang membutuhkan TENAGA AHLI dan/atau PERALATAN BERAT, TIDAK DAPAT dilaksanakan cara Swakelola. Dari penjelasan diatas diperoleh gambaran pekerjaan melalui Swakelola, kriterianya adalah PEKERJAAN KONSTRUKSI SEDERHANA dan bila melalui Penyedia Jasa (Pihak Ketiga) kriterianya adalah PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA

PEKERJAAN KONSTRUKSI SEDERHANA

Definisi Pekerjaan Konstruksi Sederhana menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 9 ayat (2) berbunyi Usaha orang perseorangan selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan dengan biaya kecil”. Kemudian di Pasal 10 ayat (1) huruf a menjelaskan Kriteria risiko pada pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri dari :

  1. kriteria risiko kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak membahayakan keselamatan umum dan harta benda;

 Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) huruf a menyebutkan Kriteria penggunaan teknologi pada pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri dari :

  1. kriteria teknologi sederhana mencakup pekerjaan konstruksi yang menggunakan alat kerja sederhana dan tidak memerlukan tenaga ahli;

 

Contoh Pekerjaan Konstruksi Sederhana

Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa tidak secara detail menjelaskan kriteria dan contoh-contoh pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilaksanakan secara swakelola baik itu Pekerjaan konstruksi sederhana ataupun Pekerjaan pengadaan barang/jasa. Untuk pekerjaan konstruksi sederhana dapat mengacu ke Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 31 huruf c Perpres 54/2010 tersebut berbunyi “Pengadaan secara swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dilaksanakan dengan  ketentuan sebagai berikut:

  1. pengadaan Pekerjaan Konstruksi hanya dapat berbentuk rehabilitasi, renovasi dan konstruksi sederhana;

Di penjelasan Perpres 54/2010 Pasal 31 huruf c  tersebut menyebutkan yang dimaksud pekerjaan rehabilitasi dan renovasi sederhana antara lain pengecatan dan pembuatan/pengerasan jalan lingkungan.

Dan harus juga yang harus diketahui, untuk mendukung kegiatan pekerjaan Swakelola, pengadaan Barang/Jasa yang tidak dapat disediakan dengan cara Swadaya, dapat dilakukan oleh Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu oleh TPK, caranya TPK membuat surat Pesanan kepada Toko/Pemasok/Penyedia barang dan jasa dimana dalam Surat Pesanan tersebut terinci Jenis barang/jasa yang diperlukan, spesifikasi, volume dan lain sebagainya {Baca di artikel Survey Harga Oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK)}.

 

PEKERJAAN KONSTRUKSI TIDAK SEDERHANA

Bila kriteria di Pekerjaan Konstruksi Sederhana yaitu berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan dengan biaya kecil, tentunya kriteria berisiko kecil sampai sedang, berteknologi sederhana sampai madya, serta berbiaya kecil sampai sedang dan juga yang berisiko tinggi dan atau yang berteknologi tinggi dan atau yang berbiaya besar ini semua termasuk dalam Pekerjaan Konstruksi Tidak Sederhana (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 9 ayat (3) dan ayat (5). Contoh pekerjaan konstruksi tidak sederhana antara lain, Pembangunan Gedung Serba Guna, Pembangunan Jembatan, Pengaspalan jalan dan lain sebagainya

 Dari keterangan diatas dapat disimpulkan dengan jelas mana pekerjaan yang dapat dilaksanakan dengan metode swakelola dan mana yang tidak dapat dilaksanakan dengan metode swakelola. Jangan dipaksakan swakelola apabila itu seharusnya lewat Penyedia Jasa (pihak Ketiga) maupun sebaliknya bila itu dapat diswakelolakan jangan dipaksakan melalui Penyedia Jasa.

Tetapi itu semua dikembalikan kepada para pihak yang melaksanakan dan terlibat dalam pekerjaan tersebut dalam hal ini Kepala Desa dan TPK, bila ada yang tidak dimengerti bertanyalah kepada siapa saja yang memahami prosedur pengadaan barang/jasa, jangan hanya ingin mendengar pendapat yang hanya ingin di dengar, Prosedur atau tata cara pengadaan barang/jasa harus benar-benar dipahami, ikutilah peraturan-peraturan yang berlaku, karena peraturan-peraturan itulah yang bisa menolong/menyelamatkan kita bila terjadi permasalahan di kemudian hari.

PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA) DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA.

PENYEDIA JASA (PIHAK KETIGA) DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA.

Pasal 5 Perka LKPP nomor 13/2013 ttg Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Desa berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa di Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang tidak dapat dilaksanakan secara Swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu.

Kemudian di Bab II lampiran Perka tersebut pada ketentuan umum angka 2 berbunyi “Khusus untuk pekerjaan konstruksi tidak sederhana, yaitu pekerjaan konstruksi yang membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, tidak dapat dilaksanakan cara Swakelola.

Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu

Kriteria pada kalimat “Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu” pada Pasal 5 bertujuan agar kegiatan/pekerjaan yang akan dilaksanakan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dapat meminta informasi ke Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Kabupaten/Kota, ULP dipastikan mengetahui penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut berdasarkan pengalaman perusahaan tersebut dalam melaksanakan pekerjaan sejenis serta perusahaan tersebut memenuhi persyaratan teknis dan administrasi serta memenuhi kualifikasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, TPK juga dapat mencari informasi kepada pihak-pihak yang mengetahui penyedia jasa mana yang sesuai dengan kriteria tersebut diatas.

Tahapan-tahapan/Langkah-langkah TPK pada proses pengadaan

Setelah TPK mengetahui dan mendapatkan informasi penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan yang akan dilaksanakan, Tahapan-tahapan/langkah-langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:

  1. TPK memberitahukan kepada Kepala Desa bahwa TPK telah siap melaksanakan pekerjaan yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes);
  2. Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa membuat surat kepada TPK perihal Permintaan Pelaksanaan Pekerjaan;
  3. TPK kemudian meminta penawaran kepada penyedia jasa (untuk pengadaan bernilai Rp.50 jt sampai dengan 200 jt cukup 1 (satu) penyedia jasa, sedangkan bila bernilai lebih dari 200 jt harus mengundang/meminta penawaran 2 (dua) penyedia jasa) harga penawaran dari penyedia jasa sudah termasuk pajak, bea meterai dan jasa penggandaan dan juga harus dilampiri persyaratan administrasi yaitu foto kopi Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) untuk pekerjaan konstruksi dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk pengadaan barang dan foto kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perorangan ataupun badan usaha serta persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan;
  4. Setelah TPK mendapatkan harga penawaran dari Penyedia Jasa dan menyetujuinya serta persyaratan yang diminta terpenuhi (bila 2 (dua) penyedia jasa, maka TPK memilih salah satu pemenang untuk ke proses selanjutnya, pemenang berdasarkan harga terendah dan memenuhi persyaratan yang diminta), TPK kemudian mengundang Penyedia Jasa tersebut untuk mengikuti proses selanjutnya yaitu Negoisasi dan klarifikasi;
  5. Apabila TPK dan Penyedia Jasa tidak mencapai kesepakatan harga penawaran dalam proses negoisasi dan klarifikasi, TPK membatalkan semua tahapan diatas dan mengundang Penyedia Jasa baru untuk mengikuti proses sebagaimana tahapan diatas, dan apabila dalam proses negoisasi dan klarifikasi terjadi kesepakatan maka TPK akan membuat surat yang ditujukan kepada penyedia jasa dimaksud perihal Persetujuan Penawaran Harga;
  6. Setelah terjadi persetujuan harga penawaran, TPK mengundang Penyedia Jasa untuk melaksanakan Penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama yang diketahui oleh Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa;
  7. Surat Perjanjian Kerjasama ditandatangani kedua belah pihak dan minimal memuat Pasal-Pasal sebagai berikut:
  • Ruang Lingkup Pekerjaan
  • Nilai Pekerjaan Dan Cara Pembayaran
  • Hak Dan Kewajiban
  • Jangka Waktu Pelaksanaan Pekerjaan
  • Force Majeure
  • Pembatalan/Pemutusan Perjanjian
  • Penyelesaian Perselisihan
  • Sanksi & Denda
  • Ketentuan Penutup

Demikianlah tahapan-tahapan/langkah-langkah yang harus ditempuh TPK untuk mendapatkan penyedia jasa mulai dari tahap awal yaitu pemberitahuan kepada Kepala Desa sampai dengan proses terakhir yaitu penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama. Tahapan-tahapan seperti dijelaskan diatas harus didokumentasikan dalam bentuk surat dan berita acara dan menjadi bagian dari dokumen pengadaan.

Tahapan-tahapan/langkah-langkah selanjutnya yaitu penyerahan hasil pekerjaan penyedia jasa, pemeriksaaan hasil pekerjaan, pembayaran hasil pekerjaan, penerimaan hasil pekerjaan dan laporan hasil pekerjaan akan dibahas di artikel berikutnya.

KPK Temukan 14 Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

KPK Temukan 14 Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

Diterbitkan pada Jumat, Juni 12 2015

Jakarta, 12 Juni 2015. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang berimplikasi pada disetujuinya anggaran sejumlah Rp 20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama pada 63 kabupaten senilai lebih dari Rp 898 miliar.

Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni:

  • aspek regulasi dan kelembagaan;
  • aspek tata laksana;
  • aspek pengawasan; dan
  • aspek sumber daya manusia.
  • Pada aspek regulasi dan kelembagaan

KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain;

  1. Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa;
  2. Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri;
  3. Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan;
  4. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta
  5. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Persoalan yang cukup mencolok, adalah formula pembagian dana desa yang berubah disebabkan dari PP No. 60 tahun 2014 menjadi PP No. 22 tahun 2015. Pada Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014 formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel, sementara pada Pasal 11 PP No. 22 tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen dan hanya 10 persen yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.

Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No. 60/2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, Desa A mendapatkan Rp 312 juta dan Desa B mendapatkan 263 juta.

  • Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain:
  1. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa;
  2. Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa Belum Tersedia;
  3. Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa Masih Rendah;
  4. Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi; serta
  5. APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Mengenai poin terakhir ini, berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.

Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh dibanding…….….., meski daerahnya minim infratruktur.

  • Pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni:
  1. Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah;
  2. Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah; dan
  3. Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Camat belum jelas.
  • Pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.

Atas sejumlah persoalan yang ada, KPK berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. KPK berpandangan, dana desa haruslah mampu memajukan desa dan memberdayakan masyarakatnya.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Priharsa Nugraha
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
Ponsel: 0815.8536.8486
http://www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

PENDAMPING DESA

PENDAMPING DESA

Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendamping Desa Pasal 4 menyebutkan pendampingan desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas:

  1. Tenaga pendamping professional
  2. Kader pemberdayaan masyarakat desa
  3. Pihak Ketiga

Tenaga pendamping professional yang terdiri dari:

  1. Pendamping Desa;
  2. Pendamping Teknis; dan
  3. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat.

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

Para pendamping professional tersebut berkedudukan di Kecamatan, Kabupaten, Pusat dan Provinsi. Disini tidak dibahas tentang  Tenaga pendamping professional, dikarenakan kedudukan mereka bukan di Desa, yang menjadi pokok pembahasan di tulisan ini adalah Kader pemberdayaan masyarakat desa yang berkedudukan di Desa dan pastinya terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di Desa tempat mereka berkedudukan.

Tugas seorang Kader pemberdayaan masyarakat desa tidaklah ringan, sesuai Pasal 18 dan Pasal 19 Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015. Tentunya masyarakat maupun jajaran Pemerintahan Desa berharap banyak dari “kemampuan” Kader, kader adalah orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pengorganisasian kegiatan-kegiatan di wilayah Pemerintahan Desa tersebut. Di Pasal 19 ayat (2) tugas kader adalah melakukan pengorganisasian kegiatan-kegiatan yang dijabarkan pada huruf a sampai dengan huruf e.

Pengorganisasian berasal kata dasar organisasi yang artinya kelompok kerjasama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Tugas seorang kader adalah membuat visi dan misi organisasi, visi dan misi inilah yang mengikat dan menyatukan semua pihak didalamnya untuk saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disamping menyatukan visi dan misi seorang kader juga harus mampu mendorong para anggotanya untuk berperan aktif serta memberikan kontribusi baik itu pemikiran maupun kontribusi dalam bentuk lainnya kepada organisasi sebagai upaya mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap organisasi, tetapi itu tidaklah mudah karena setiap orang punya pendapat, kepentingan, motif dan ego sendiri-sendiri. Seorang kader harus mampu pula menyatukannya, bila kader tidak mampu melakukannya maka akan terjadi konflik dan itu sangat berpengaruh terhadap tujuan organisasi, dalam mencapai tujuan bersama sebagaimana yang diharapkan.

Akomodasi dan Kompromi

Beberapa cara yang dilakukan kader untuk menghindari konflik tersebut adalah dengan cara mengakomodasi para pihak yang punya kepentingan tersebut, tujuan akomodasi adalah mengorbankan beberapa kepentingan dari salah satu pihak agar kepentingan pihak lain mendapatkan prioritas dalam kegiatan. Hal ini dilakukan jika Kader merasa bahwa kepentingan pihak lain yang diakomodasi tersebut lebih utama, lebih penting dan juga tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan skala prioritas dan penting, serta hubungan baik menjadi hal yang utama. Disamping akomodasi, hal lain yang juga harus dilakukan kader adalah kompromi. Kompromi ditempuh apabila ke dua belah pihak dalam organisasi tersebut merasa bahwa pendapat mereka harus diutamakan dan diakomodir karena sama–sama penting, disini peran kader adalah menjaga hubungan baik kedua belah pihak, dan kader harus mampu meyakinkan, bahwa masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya (win-win solution), dan berkolaborasi (saling bekerjasama) untuk meraih tujuan utama yang akan dicapai.

Koordinasi

Pasal 19 Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 menyebutkan Kader pemberdayaan masyarakat desa mendampingi Kepala Desa dalam hal pengorganisasian pembangunan Desa, seperti yang dijelaskan dalam huruf a sampai dengan huruf e. Pasal 19 ini bisa menimbulkan kebingungan Kepala Desa beserta perangkatnya, mengingat di Pemerintahan Desa sudah ada organisasi tersendiri yaitu Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dan Perangkat Desa selaku Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) dan untuk PTPKD menurut ketentuan yang berlaku, Sekretaris Desa adalah Koordinator PTPKD, dan merekalah (TPK & PTPKD) yang melaksanakan pembangunan dan kegiatan-kegiatan tersebut. Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tidak menjelaskan secara detail maksud dari pengorganisasian tersebut, apakah kader tersebut juga mengorganisasikan TPK dan PTPKD? Kader harus bisa menjelaskan posisi/kedudukan mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut, dan juga harus mengkoordinasikan tugas pokok dan fungsi mereka kepada Pemerintah Desa, dalam hal ini Kepala Desa agar tidak terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan.

Komunikasi

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, Kader pemberdayaan masyarakat desa dituntut dapat berkomunikasi dengan efektif, artinya mereka mampu dan dapat menciptakan suatu persamaan pemahaman/persepsi diantara mereka sendiri maupun dengan pihak-pihak terkait lainnya dan pesan yang disampaikan dapat dipahami dan mengerti. Ini penting karena karena komunikasi sangat berperan dalam proses akomodasi, kompromi, kolaborasi dan juga koordinasi. Di Pasal 19 ayat (2) tugas kader dijabarkan pada huruf a sampai dengan huruf e. Kader diharapkan banyak menguasai pengetahuan-pengetahuan tentang berbagai hal, misalnya tentang BUM Des, mereka harus bisa menjelaskan apa itu BUM Des, tata cara pendirian, susunan keanggotaan, status BUM Des, dan lain sebagainya, itu baru BUM Des, Kader juga harus tahu apa itu pasar Desa dan lain-lainnya sebagaimana tertuang dalam Permendes tersebut. Dengan menguasai itu semua kader akan mudah berkomunikasi dalam menyampaikan pesan dan memberikan penjelasan-penjelasan secara sederhana sehingga mudah dipahami oleh pendengarnya. Dalam berkomunikasi kader tidak hanya dituntut menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga ketrampilan dalam berkomunikasi karena komunikasi adalah seni, seni untuk dapat mempengaruhi dan mengikuti atau menggiring pendengar untuk mengikuti apa yang ingin kita tuju.  Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil sesuai tujuan bersama suatu organisasi, sebaliknya kurang atau tidak adanya komunikasi, yang baik maka tujuan organisasi akan sulit diraih.

Petunjuk Teknis

Dari sekian banyak kegiatan yang harus dilaksanakan Kader pemberdayaan masyarakat desa di permendes tersebut apakah pihak Kementrian Desa sudah menerbitkan/mengeluarkan petunjuk-petunjuk teknis? mengingat banyak sekali hal hal yang memerlukan pedoman dalam pelaksanaan permendes tersebut. misalnya musyawarah desa perihal pemilihan Kader pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 31). Di pasal tersebut tidak menjelaskan kriteria dan jumlah Kader pemberdayaan masyarakat desa, apabila lebih dari satu orang yang ingin menjadi Kader pemberdayaan masyarakat desa bagaimana proses seleksinya. Petunjuk-petunjuk teknis tersebut bukan hanya berisi ketentuan dan syarat-syarat saja tapi juga harus ada format baku berita acara dan lain sebagainya, contohnya berita acara pemilihan Kader pemberdayaan masyarakat desa. Petunjuk-petunjuk teknis tersebut dapat digunakan:

  1. Sebagai acuan bagi Pemerintah Desa dalam pemantauan dan pengendalian pelaksanakan kegiatan-kegiatan yang diamanatkan di Permendes tersebut.
  2. Memberikan panduan bagi Pemerintah Daerah dalam pengendalian pelaksanaan pendampingan di tingkat masyarakat, dan dalam memantau, evaluasi kemajuan program terkait dengan pelaksanaan oleh Pendamping Desa termasuk penilaian kinerja Pendamping Desa.
  3. Memberikan panduan bagi Pendamping Desa dalam pendampingan / memfasilitasi masyarakat dan para pemangku kepentingan di desa/kecamatan untuk menyusun rencana kerja pelaksanaan kegiatan di tingkat masyarakat
  4. Memahami secara menyeluruh segala bentuk pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan
  5. Dsb…….

Semoga dengan kebijakan perekrutan pendamping desa oleh kementrian desa ini benar-benar mendapatkan kualifikasi pendamping desa berwatak pemberdayaan bukan sekedar pendamping desa berkualifikasi pencari kerja.

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA DENGAN PEKERJA HARIAN LEPAS

PERJANJIAN KERJA PEKERJA HARIAN LEPAS

Nomor: ………………………………………

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

1.    Nama

Jabatan

Alamat

:

:

:

…………………………..

…………………………..

…………………………..

Dalam hal ini bertindak atas nama dan untuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Desa……….. selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

 

2.    Nama

Jabatan

Alamat

:

:

:

Terlampir

Terlampir

Terlampir

Dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri dan atau bersama-sama untuk atas nama tersebut dalam lampiran surat ini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan selanjutnya disebut PIHAK KEDUA (PEKERJA).

Dengan ini PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA telah sepakat untuk membuat Perjanjian Kerja Pekerja Harian Lepas yang mengikat kedua belah pihak sesuai dengan pasal-pasal di bawah ini:

Pasal 1

JENIS PEKERJAAN DAN TEMPAT KERJA

(1)  Pekerjaan  yang  akan  diserahkan  oleh  PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA adalah ……………………… berlokasi di …………………………

(2)  Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu, tempat, volume dan jenis pekerjaan akan ditentukan oleh PIHAK PERTAMA sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

(3)  PIHAK KEDUA wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan/arahan dari PIHAK PERTAMA.

(4)  PIHAK KEDUA apabila diperlukan bersedia melakukan tugas dan pekerjaan dimana pengaturan dan penempatannya ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA

Pasal 2

HARI DAN JAM KERJA

(1)  Hari dan jam kerja untuk  pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang waktunya, akan ditentukan oleh PIHAK PERTAMA sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2).

(2)  Hari kerja yang dimaksud pada ayat (1) dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu, Minggu dan hari-hari besar keagamaan/nasional libur.

(3)  Jam kerja dimulai pukul 08.00 Wib sampai dengan pukul 16.00 Wib, dengan 1 (satu) jam waktu istirahat mulai pukul 12.00 Wib sampai dengan 13.00 Wib kecuali hari Jumat, istirahat mulai jam 11.00 Wib sampai dengan jam 13.00 Wib.

(4)  Jumlah jam kerja dalam satu hari 8 (delapan) jam kecuali untuk hari Jumat dan jumlah hari kerja paling banyak 20 (dua puluh) hari dalam sebulan.

(5)  Apabila  PIHAK   PERTAMA    meminta   PIHAK   KEDUA   untuk   bekerja  di  luar jam kerja sebagaimana disebut  pada ayat (4) maka PIHAK  KEDUA  berhak  mendapat  upah  lembur, PIHAK KEDUA mendapatkan 30 %(tiga puluh prosen) per jam dari upah harian dengan ketentuan tambahan jam kerja (lembur) maksimal 3 (tiga) jam dalam satu hari.

Pasal 3

UPAH

(1)  PIHAK  PERTAMA setuju dan bersedia memberikan upah kepada PIHAK  KEDUA  sebesar Rp.…(…………..…) setiap hari kehadiran kerja PIHAK KEDUA.

(2)  Apabila PIHAK  KEDUA  tidak hadir, dengan alasan apapun maka PIHAK  PERTAMA  tidak membayarkan upah harian kepada PIHAK KEDUA.

(3)  Pembayaran  upah oleh PIHAK  PERTAMA kepada PIHAK  KEDUA  dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu yakni pada setiap hari Sabtu

(4)  Tambahan upah penambahan jam kerja (lembur) sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (5)

Pasal 4

PERATURAN KERJA

Pokok-pokok peraturan kerja adalah berikut ini :

(1) PIHAK  KEDUA wajib menegakkan dan melaksanakan semua disiplin kerja yang telah ditetapkan PIHAK PERTAMA.

(2) PIHAK  KEDUA wajib mematuhi dan melaksanakan sepenuhnya setiap arahan dan perintah yang disampaikan PIHAK PERTAMA.

(3) PIHAK  KEDUA tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :

  1. Membantah dan atau menolak perintah/instruksi dari PIHAK PERTAMA;
  2. Tidak masuk kerja selama….(…….) hari berturut-turut  tanpa keterangan tertulis atau alasan yang sah yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Melakukan pencurian, penggelapan, dan atau perbuatan melawan hukum lainnya;
  4. Memberikan keterangan palsu, atau melakukan perbuatan lain yang menimbulkan kericuhan di lokasi pekerjaan ataupun diwilayah pemerintah Desa…………..;
  5. Mabuk, berjudi, menggunakan obat terlarang atau melakukan perbuatan asusila di lingkungan kerja;
  6. Melakukan tindak kejahatan, misalnya menyerang, mengintimidasi, atau menipu PIHAK PERTAMA atau teman sekerja dan memperdagangkan barang terlarang baik di dalam maupun di luar lingkungan wilayah Pemerintahan Desa………..;
  7. Menganiaya, mengancam secara fisik atau mental, menghina secara kasar PIHAK PERTAMA atau keluarga PIHAK PERTAMA dan teman sekerja;
  8. Melakukan  pelanggaran  lainnya  yang  dapat  dikategorikan  sebagai pelanggaran  berat  menurut peraturan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.

(4) PIHAK  KEDUA  harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat PIHAK PERTAMA seperti yang dijelaskan pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.

(5) Apabila   PIHAK    KEDUA   melakukan   pelanggaran yang dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g maka PIHAK PERTAMA berhak memberikan   sanksi yaitu pemberhentian kerja dan dapat dilaporkan ke aparat penegak hukum sesuai  tingkat

(6) Apabila PIHAK KEDUA melihat atau menemukan ketidak beresan yang dapat menganggu dan berpotensi merugikan atau menghambat pekerjaan, yang bersangkutan dapat menyampaikannya secara langsung kepada PIHAK PERTAMA ataupun pihak Pemerintah Desa.

Pasal 5

 HUBUNGAN KERJA

(1) Hubungan  kerja antara PIHAK  PERTAMA  dan PIHAK  KEDUA  berlaku selama ……………….bulan terhitung sejakperjanjian ini ditandatangani dan berakhir pada tanggal ……….. bulan ………….. tahun ……………..

(2) Apabila pekerjaan tersebut ternyata belum selesai maka kedua belah pihak dapat membuat pembaruan perjanjian atas kesepakatan tertulis dari kedua belah pihak.

(3) Setiap waktu hubungan kerja antara PIHAK  PERTAMA  dengan PIHAK  KEDUA  dapat diakhiri bilamana PIHAK KEDUA melanggar ketentuan-ketentuan yang dijelaskan pada Pasal 4 (ayat 3).


Pasal 6

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian Kerja Pekerja Harian Lepas ini akan ditentukan kemudian dalam suatu addendum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Kerja ini dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian ini dan segala akibat hukumnya, hanya tunduk pada hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

(3) Apabila  terjadi  perselisihan  dalam  pelaksanaan  perjanjian  ini,  maka kedua  belah  pihak  akan menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.

(4) Apabila  secara musyawarah untuk mufakat  tidak  memuaskan  kedua  belah  pihak, maka  akan diselesaikan lewat jalur hukum. Untuk maksud tersebut kedua belah pihak memilih tempat kediaman hukum  yang tidak berubah pada Kantor Pengadilan Negeri Pangkalan Bun untuk menyelesaikannya.

Pasal 7

PENUTUP

Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani PIHAK PERTAMA  dan PIHAK KEDUA yang dibuat  dalam  rangka  2 (dua)  dengan  dibubuhi  materai  secukupnya dan  masing-masing  mempunyai kekuatan hukum yang sama, dibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.

Ditandatangani di :…………………………

Pada tanggal     : ………………………….

PIHAK PERTAMA

……………………. (nama ketua TPK)

PIHAK KEDUA

Materai rp. 6.000

……………………(satu orang mewakili para pekerja)

Mengetahui,

Kepala Desa………………….

Ttd

……………………….